BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak
dipungkiri lagi bahwa batubara merupakan salah satu sumber bahan bakar yang sangat dibutuhkan
dari dulu hingga sekarang. Batubara memiliki manfaat yang sangat banyak dalam
kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya batubara dapat tersusun atas bahan-bahan
organik dan non organik, dengan kandungan bahan organik pada batubara dapat
mencapai lebih dari 75%. Kehadiran mineral dalam jumlah tertentu akan
mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai panas
sehingga dapat membatasi penggunaan batubara.
Satu
hal yang perlu diingat bahwa batubara
tidak mengandung abu akan tetapi mengandung mineral, abu hanyalah residu sisa
dari pembakaran batubara. Namun banyak kalangan masyarakat umum mengetahui
bahwa batubara mengandung abu.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dapat penulis ambil dari permasalahan di atas adalah:
1. Apa
yang dimaksud dengan Mineral Matter (Ash)
2. Apa saja yang termasuk ke dalam Inorganik
Matter And Organik Matter Batubara?
3.
Apa saja klasifikasi mineral Batubara?
4.
Bagaimana cara menganalisis kadar abu
pada batubara?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Batubara
2. Untuk
mengetahui berbedaan antara mineral batubara dengan abu yang dihasilkan oleh
sisa pembakaran batubara.
3. Untuk
memberikan informasi kepada pembaca maupun masyarakat umum mengenai mineral matter batubara.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari
penulisan makalah ini adalah penulis dapat mengetahui mineral matter pada batubara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mineral Matter (Ash)
Mineral atau mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineral-mineral
dan material organik lainnya yang berasosiasi dengan batubara (Ward, 1986).
Secara keseluruhan mancakup tiga golongan material yaitu :
1.
Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin
pada batubara.
2.
Unsur atau senyawa biasanya tidak termasuk unsur
nitrogen dan sulfur.
3.
Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara
dan air permukaan
Mineral matter
adalah unsur-unsur yang terikat secara organik dalam rantai karbon sebagai
kation pengganti hidrogen. Unsur ini biasanya ada dalam batubara pada saat
pembentukan batubara yang berasal dari tumbuhan atau pohon pembentuk batubara
tersebut. Unsur yang biasanya ditemukan sebagai mineral matter ini adalah Kalsium, Sodium, dan juga ditemukan besi
dan alumina pada low rank coal.
Mineral
matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuh- tumbuhan
pembentuk batubara atau disebut inherent
mineral serta mineral yang berasal dari luar rawa atau endapan yang
kemudian di transport ke dalam cekungan pengendapan batubara melalui air atau
angin dan disebut “extraneous” atau ‘adventitious’ mineral matter. Materi anorganik di dalam batubara terbagi menjadi
tiga katagori menurut pembentukannya (Taylor et.al.,
1998), yaitu:
1. Syngenetic
anorganic matter
Merupakan materi anorganik yang berasal dari tumbuhan
pembentuk batubara. Contoh: Silika.
2. Syngenetic inorganic/organic complexs
Materi anorganik yang terbentuk selama tahap awal
penggambutan, berasal dari luar yang terbawa oleh air atau angin kedalam
gambut. Contoh: Mineral zirkon(ZrSiO4) dan pertukaran hidrogen
dalam karbonat menjadi kalsium karbonat.
3. Epigenetic
minerals
Terbentuk setelah proses konsolidasi batubara oleh
kristalisasi dalam rekahan atau lubang atau oleh alterasi mineral yang
terendapkan secara primer. Contoh: Pirit dan mineral Karbonat.
Kebanyakan dari kehadiran bahan
anorganik dalam batubara ialah berupa mineral-mineral yang terdistribusi di
dalam atau diantara maseral-maseral. Mineral terdistribusi diantara maseral
dengan ukuran antara satu μm hingga ratusan mikrometer. Mineral yang banyak
terdapat dalam batubara ialah mineral lempung, mineral karbonat, mineral
sulfida dan mineral oksida.
Unsur kimia anorganik dalam batubara mencakup unsur dari tanaman asal,
unsur yang terikat pada molekul organik sebelum tanaman mati, maupun unsur yang
terikat dalam molekul organik atau mengisi lubang antar bahan organik setelah
tanaman mati menjadi gambut sampai dengan akhir diagenesis batubara (Bouska, 1981).
Kelimpahan unsur anorganik dalam
batubara umumnya tergolong kecil sekali dan disebut unsur jejak (trace
element). Menurut Cox, et al. (1979) unsur tergolong unsur jejak apabila
terkonsentrasi dalam batuan lebih kurang sebesar beberapa ribu ppm; menurut
Rollinson (1995) berjumlah < 0,1% (1000 ppm) berat; dan menurut Abernethy,
& Gibson (1963) apabila konsentrasinya tidak lebih dari 0,01 % (100 ppm)
berat.
Kandungan unsur jejak dalam
batubara pada umumnya dinyatakan dalam ppm atau % untuk keseluruhan tebal satu
lapisan hasil rerata gabungan nilai ppm percontoh selang (misalnya per meter)
tebal lapisan. Unsur itu disebut tersebar homogen apabila kelimpahannya dalam selang-selang
tegak dari tebal lapisan sama besarnya, dan tidak homogen apabila bervariasi.
Kehomogenan unsur tadi menunjukkan bahwa mineral yang terdiri dari unsur tadi
telah terdeposisi sebelum diagenesis (pradiagenesis) gambut, dan variasi unsur
menunjukkan bahwa pembentukan mineral terjadi selama diagenesi
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran
melalui ruang bakar dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80
persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu, secara umum
akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan
yang dilalui. Batubara sebenarnya tidak mengandung abu, tetapi mengandung zat
organic yang berupa mineral.
Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar,
parameter ini berguna untuk penentuan efesiensin pembakaran. Buka tutup krus
yang dipakai dalam analisa kadar VM, kemudian krus dipanaskan di atas nyala
Bunsen, hingga seluruh karbon terbakar (uap hitamnya habis). Didinginkan lalu
ditimbang untuk mendapatkan kadar abu. Abu
merupakan residu anorganik hasil pembakaran batubara , terdiri dari
oksida-oksida logam seperti Fe2O3,MgO, Na2O, K2O, dan sebagainya.Dan juga
mengandung logam oksida-oksida non logam seperti SiO2,P2O5, dan lain-lain.
Pembakaran batubara pada metode British Standar
(BS), dan Australian Standar (AS) dilakukan pada suhu 8150C dan dilakukan
selama tiga jam dan dianggap konstan. Pada metode ISO, pembakaran batubara
dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama, pembakaran dilakukan mulai suhu
ruangan sampai pada suhu 5000C selama 1 jam, ditahan selama 30 menit (untuk brown coal dan lignite harus ditahan selama 1 jam) kemudian dilanjutkan sampai
8150C ± 100C.
Pada metode ASTM, umumnya dilakukan pada suhu 7500C
selama 4 jam, namun pada batubara tertentu lama pembakaran bias berkurang
maupun bertambah tergantung dari jenis batubara yang dianalisa. Nilai kandungan
abu suatu batubara selalu lebih kecil dari pada kandungan mineral-mineralnya.
Hal ini terjadi karena selama pembakaran terjadi perubahan kimiawi pada
batubara tersebut, seperti menguapnya air Kristal karbon dioksida dan oksida
sulfur.
B.
Inorganik
Matter And Organik Matter Batubara
1. Inorganik
Matter
(Zat Anorganik)
Elemen dari zat
anorganik disebut dengan mineral atau disebut juga dengan mineral matter. Mineral
matter yang terdapat di dalam batubara terbagi dalam dua
bentuk :
1.
Inherent Mineral
Material ini terdapat
di dalam batubara dalam bentuk partikel halus yang tersebar keseluruh bagian
batubara, pada dasarnya sebagian material ini ialah unsur-unsur anorganik yang
berasal dari tumbuhan yang membentuk batubara tersebut dan sebagian lainnya
berasal dari material sampingan yang terbawah ke dalam batubara selama proses
pembentukan batubara, oleh karena itu jumlah serta sifat mineral dalam batubara
setiap lapisannya berbeda. Hampir dapat di pastikan bahwa mineral ini tidak
dapat dipisahkan dari batubara dengan cara mekanis (pencucian) berdasarkan
bentuk ikatan mineral ini dengan batubara.
2.
Extraneous Mineral
Zat-zat mineral ini
berasal dari lapisan floor, roof
serta dirt band yang terbawah kedalam
batubara pada saat berlangsungnya proses penambangan dan terkadang mineral ini
disebut juga sebagai “Free stone”.
Pada umumnya tingkat banyaknya kandungan mineral pada batubara bervariasi
mengikuti ukuran partikelnya dimana partikel yang lebih halus akan mempunyai
kandungan mineral yang lebih tinggi sehingga proses liberasi dengan
penggilingan ke ukuran yang lebih kecil dapat dimanfaatnkan.
Tingkat banyaknya
kandungan mineral dalam batubara yang diperlukan diukur berdasarkan pemanfaatan
batubara tersebut. Pada batubara tertentu kandungan mineral yang terlalu rendah
mungkin sama tidak diinginkannya dengan kalau kandungan mineralnya terlalu
tinggi, contohnya kandungan mineral yang terlalu rendah pada “mechnical stoker” dapat menyebabkan overheating pada grate (jeruji).
Kalau dilihat dari segi
ekonomi, kuantitas kandungan abu merupakan faktor yang sama pentingnya dengan
kualitas serta sifat abu suatu batubara akan tetapi konsistensi kualitas
batubara (% abu) pada pengiriman-pengiriman batubara berikutnya faktor yang
jauh lebih penting.
2. Organik
Matter (Zat
Organik)
Organik matter adalah
satu-satunya komponen batubara yang menghasilkan kalori pada proses pembakaran.
Penguraian komponen batubara ini dapat dilihat dari dua sisi berbeda. Pertama
dilihat dari sisi bagian jenis tanaman awal yang membentuknya sedangkan sisi
yang kedua dilihat dari unsur-unsur yang membentuknya. Dilihat dari sisi bagian
dan jenis tanaman awal yang membentuknya komponen batubara ini diuraikan
menjadi beberapa elemen yang di sebut maceral.
Jika dilihat dari sisi
unsur-unsur yang membentuknya, komponen batubara ini terdiri dari unsur-unsur
carbon, hydrogen, nitrogen, sulphur, oxygen serta terdapat juga sedikit unsur
zat organik bawaan seperti natrium, kalium dsb yang terikat sebagai bagian dari
zat organik. Walaupun zat organik batubara merupakan satu-satunya komponen yang
menghasilkan kalori namun di dalamnya terdapat beberapa unsur yang dianggap
pengotor karena pada proses pembakaran unsur ini dapat menimbulkan polusi.
Unsur-unsur tersebut antara lain nitrogen dan sulphur.
Dalam proses pembakaran
nitrogen akan membentuk gas NOx sedangkan sulphur akan membentuk SO2. Sulphur
yang ada dalam zat organik ini disebut dengan organik sulpur dan merupakan
bagian dari sulphur total batubara, sulfur dalam bentuk ini tidak bisa
dipisahkan atau dibersihkan dengan proses mekanis, tapi ada kemungkinan masih
bias dipisahkan dengan proses kimia namun biaya mahal.
C.
Klasifikasi
Mineral Batubara
Klasifikasi mineral yang terdapat
pada batubara ditinjau dari segi genetis adalah :
1. Mineral Lempung (Clay)
Mineral ini merupakan kelompok yang
palaing dominan dijumpai pada batubara, sekitar 60-80 % dari total mineral
matter. Umumnya terdapat sebagai mineral primer yang terbentuk akibat adanya
aksi air atau angin yang membawa material
detrital ke dalam cekungan pengendapan batubara. Distribusi mineral lempung
dalam batubara dikendalikan oleh kondisi kimia rawa (Bustin, 1989).
Spesies mineral lempung yang umum terdapat dalam batubara adalah kaolinite,
illite dan montmorilonit. Kaolinit umumnya terdapat dalam batubara secara
syngenetic yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan, tersebar pada vitrinit
sebagai pengisi rekahan dan lainnya berbentuk speris. Sedangkan illite biasanya
lebih banyak terdapat pada batubara dengan lapisan penutup (roof) batuan
sedimen marin.
Mineral lempung yang terbentuk pada
fase ke dua (secondary), umumnya dihasilkan oleh adanya transformasi
dari lempung fase pertama. Bila kedalaman penimbunan bertambah, maka proporsi
kaolinit berkurang sedangkan illite bertambah. Asosiasi mineral lempung pada
lapisan batubara berupa inklusi halus yang tersebar dan sebagai pita-pita
lempung (tonstein).
2. Kuarsa
Kuarsa (SiO2) adalah
salah satu mineral oksida yang paling penting terdapat dalam batubara (Tylor
et al, 1998). Ada dua tipe kuarsa yang dapat dibedakan berdasarkan
teksturnya yaitu : butiran kuarsa klastik berbentuk bulat jika terendapkan
melalui media air dan berbentukmenyudut jika melalui media angin. Sedangkan
tipe lainnya adalah kuarsa kristal halus yang terbentuk dari larutan setelah
pengendapan batubara. Kebanyakan merupakan silika yang terlarut dari hasil
pelapukan felspar dan mika. Kuarsa merupakan mineral syngenetic dan
jarang ditemukan sebagai epigenetic (Ranton, 1982).
3.
Karbonat
Terdapat 4 (empat) spesies mineral
karbonat yang biasa ditemukan dalam batubara yaitu : kalsit (CaCO3),
siderit (FeCO3), dolomit (Ca, Mg) CO3 dan ankerit
(CaMgFe)CO3. Mineral-mineral ini dapat terbentuk baik pada fase
syngenetic akhir maupun epigenetic (Diessel, 1992). Karbonat syngenetic
umumnya terdapat dalam bentuk konkresi speroidal dan sebagai pengisi
ronga-rongga fusinite dan semifusinite.
Siderit yang terbentuk dalam kondisi
reduksi dapat dianggap sebagai karbonat primer, sedangkan kalsit dapat
terbentuk baik dalam lingkungan air tawar maupun laut (Ranton, 1982).
Hadirnya dolomit merupakan indikasi lingkungan pengendapan laut (Stach,
1982).
4. Sulfida
Pirit dan markasit merupakan mineral
sulfida yang paling umum terdapat pada batubara. Ke dua spesies mineral ini
memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) hanyan berbeda dalam
bentuk kristalnya. Pirit berbentuk kubik dan markasit berbentuk ortorombik.
Mineral ini dapat terbentuk baik
secara syngenetik maupun epigenetik dalam berbagai bentuk (Diesel, 1992).
Beberapa bentuk mineral pirit yang telah ditemukan dalam batubara adalah
sebagai berikut :
1.
Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga
beberapa centimeter yang umumnya
terdiri dari kristal-kristal membulat atau memanjang.
2.
Bentuk Fe-Sulfida syngenetic yang paling umum adalah
kristal pirit dengan ukuran lebih kecil dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk
speroidal atau framboidal dan berasosiasi dengan vitrinit.
3.
Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk
lensa-lensa pipih atau pita-pita yang menunjukkan presipitasi pirit generasi ke
dua yang terjadi selama diagenesa akhir. Hal ini dianggap sebagai peralihan ke
pirit epigenetic.
4.
Pirit epigenetic yang terbentuk sebagai material
pengisi rekahan, kekar dan celah.
5. Sulfat
Mineral sulfat yang paling dominan
terdapat pada batubara adalah bassanit dan gypsum. Umumnya mineral ini
terbentuk dari hasil oksidasi mineral sulfida (pirit) pada batubara terutama bila
berhubungan dengan udara luar dalam waktu lama.
D. Pengujian Kadar Abu pada Batubara
1. Tujuan
Percobaan
Setelah
melakukan percobaan ini, mahasiswa diharapkan dapat menghitung kadar abu pada
sampel batubara.
2. Alat dan
Bahan
Alat
yang digunakan adalah:
1. Muffle
furnace
2. Neraca
analitik
3. Cawan
porcelain
4. Desikator
5.
Penjepit
Bahan
yang digunakan:
1.
Batubara 60 dan 170 mesh
3.
Prosedur Percobaan
1.
Menimbang 2 buah cawan porselen
2.
Memasukkan batubara berukuran 60 mesh
pada 1 cawan dan 170 mesh pada cawan yang lain, masing-masing 1 gram.
3.
Menghidupkan oven dan mengatur suhunya (400⁰C).
4.
Memasukkan cawan yang berisi batubara ke
dalam oven.
5.
Mengatur suhu oven menjadi 750⁰C.
6.
Pemanasan dilakukan sampai semua sampel
batubara menjadi abu (±3 jam).
7.
Mendinginkan cawan berisi batubara
tersebut dengan desikator sampai suhunya turun menjadi 400⁰C .
8.
Menimbang masing-masing cawan dan
menghitung kadar abunya.
4.
Cara Perhitungan
Perhitungan kandungan abu (Ash
Content) adalah sebagai berikut :
Ash% =
X 100%
Keterangan :
Berat abu = Berat batubara setelah di oven (gram)
Berat sampel = Berat batubara asli (gram)
Ash % = Persen abu
5.
Data Pengamatan dan Pembahasan
Batubara
Parameter pengamatan
|
Batubara 60
mest
|
Batubara 170
mest
|
|
Berat cawan porselin
+ sampel
|
6.5 gram
|
6.0 gram
|
|
Berat cawan + abu
(hasil pengovenan sampel)
|
6.0 gram
|
5.3 gram
|
|
% Abu
|
0.923 gram
|
0.884 gram
|
|
Rata-rata % abu
|
= 0.9035 gram
|
|
|
6.
Kesimpulan Percobaan
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Ash
adalah mineral batubara yang masih tersisa setelah proses pembakaran.
2. Penentuan
kadar abu batubara dilakukan untuk menentukan kualitas batubara.
3. Kadar
abu di dalam batubara dipengaruhi oleh banyaknya jenis mineral matter yang
dikandung oleh batubara tersebut, baik yang berasal dari inherent maupun extraneous.
4. Semakin
tinggi kadar abu dalam batubara maka nilai kalornya akan semakin rendah,
begitupun dengan kualitas dan harga jualnya.
5. Berdasarkan
luas permukannya, kadar abu pada batubara 60 mesh lebih besar daripada kadar
abu 170 mesh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
dan pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan di antara lain :
1. Mineral
matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuh-tumbuhan
pembentuk batubara atau disebut inherent
mineral serta mineral yang berasal dari luar rawa atau endapan
kemudian ditransport ke dalam cekungan pengendapan batubara melalui air atau
angin dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter.
2. Ash (abu) adalah bahan-bahan yang tidak
terbakar setelah pembakaran sample. Mineral matter merupakan bagian zat
anorganik dalam batubara dan sudah ada dalam batubara sebelum batubara tersebut
dibakar.
3. Mineral matter dan ash itu berbeda. Abu dalam batubara bersumber dari mineral matter dalam batubara dan unsur
pengotor dari batupasir, tanah dan sebagainya yang berasal dari bagian penutup,
dasar atau parting pada lapisan batubara. Hasil kadar abu (ash content) digunakan untuk mengukur kualitas batubara dan
efisiensi proses pembersihan.
4.
Batubara tidak mengandung abu akan
tetapi mengandung mineral, abu hanyalah residu sisa dari pembakaran batubara.
B.
Saran
Dari uraian
dan pembahasan di atas, saran yang dapat penulis berikan yaitu setelah
mengetahui bahwa ternyata batubara tidak mengandung abu tetapi mengandung
mineral maka sebaiknya jika masih ada yang mengatakan kalau batubara memiliki
abu maka kita harus bisa manjelaskan yang sebenarnya kalau batubara tidak
mengandung abu, abu hanya sisa dari hasil pembakaran dan hasil kadar abu (ash content) digunakan untuk mengukur
kualitas batubara dan efisiensi proses pembersihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar